Pada hari Jum’at malam, salah satu televisi swasta menayangkan sebuah film
yang menceritakan tentang dahsyatnya sebuah fenomena yang bernama perubahan
iklim dalam “The Day After Tommorow”, dimana dalam film tersebut disampaikan
sebuah pesan mengenai betapa parahnya dampak fenomena berubahnya system iklim
atmosfir yang menyebabkan terjadinya pendinginan permukaan bumi secara global.
Walaupun film tersebut serasa agak berlebihan dalam menggambarkan kejadian
tersebut, tetapi satu pesan yang bisa diambil adalah perlunya upaya dan
persiapan untuk menghadapi kejadian perubahan iklim tersebut.
Dalam AR4 yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) definisi perubahan iklim dinyatakan sebagai perubahan kondisi
iklim yang dapat diidentifikasi (misalnya menggunakan uji statistik) dengan
mengubah rata-rata dan/atau variabilitas propertinya, dan berlanjut untuk waktu
yang cukup lama, biasanya kurun waktu dekade atau lebih panjang. Hal tersebut
mengacu pada setiap perubahan pada iklim sepanjang waktu, apakah penyebabnya
alami atau akibat aktifitas manusia. Definisi ini berbeda dengan definisi yang
digunakan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)
dimana perubahan iklim lebih mengacu pada perubahan pada kondisi iklim yang
disebabkan secara langsung atau tidak langsung oleh aktifitas manusia yang mengubah
komposisi atmosfir global, disamping variabilitas iklim alami yang diteliti
sepanjang periode waktu tertentu.
Secara ilmiah, pemanasan global yang terjadi pada system iklim sudah
terbukti melalui fenomena peningkatan suhu permukaan bumi dan lautan, kemudian
terjadinya pencairan bongkahan es yang semakin meluas di wilayah kutub, serta
adanya kecenderungan kenaikan muka air laut global (AR4, 2007).
Dalam laporan IPCC tersebut juga disampaikan bahwa ada kecenderungan
peningkatan temperature yang menyebar secara global, dimana sebagian besar
peningkatan tersebut melanda wilayah yang berada di lintang utara. Suhu
rata-rata di kutub utara dilaporkan meningkat hampir dua kali lipat dari suhu
rata-rata global selama 100 tahun yang lalu. Dilaporkan juga bahwa wilayah
daratan menjadi lebih cepat panas dibandingkan wilayah lautan. Penelitian yang
telah dilakukan sejak tahun 1961 menunjukkan bahwa rata-rata temperature laut
global mengalami kenaikan dan sudah mencapai kedalaman kurang lebih 3000 m
(AR4, 2007). Pengukuran dengan menggunakan balon udara dan satelit
menunjukkan adanya kenaikan suhu troposfir di bagian tengah dan bawah.
Terkait dengan kenaikan muka air laut, hasil penelitian menunjukkan
hasil yang berbanding lurus antara kenaikan suhu di laut dengan kenaikan muka
air laut. Secara global, muka air laut mengalami peningkatan pada tingkat
rata-rata 1,8 (1,3 – 2,3 mm) setiap tahun mulai tahun 1961 sampai 2003,
sementara hasil penelitian pada tahun 1993 – 2003 menunjukkan kenaikan muka air
laut pada tingkat rata-rata 3,1 (2,4 – 3,8 mm) setiap tahunnya (AR4, 2007).
Pemanasan global juga memicu terjadinya peningkatan aktifitas angin
taifun dan badai di beberapa wilayah Negara dan membawa kerugian nyawa maupun
material yang tidak sedikit.
Makin meningkatnya kejadian banjir dan kekeringan akibat perubahan
pola presipitasi, makin seringnya kejadian ekstrim iklim seperti badai,
perubahan musim yang berpengaruh terhadap perubahan pola tanam merupakan
beberapa dampak akibat pemanasan global yang berpengaruh terhadap perubahan
iklim. Pengaruh terhadap kondisi ekosistem perairan dan laut juga dapat dilihat
dari adanya perubahan system biologi akibat perairan yang mengalami perubahan
yang dikarenakan oleh kenaikan temperature air, maupun pencairan es, perubahan
salinitas, tingkat oksigen dan sirkulasinya.
Dari hasil analisis data iklim di Indonesia yang dikumpulkan dari
beberapa stasiun pemantauan iklim dan cuaca menunjukkan adanya perubahan
temperatur mencapai sekitar 0,5 oC yang terjadi selama kurun waktu abad 20.
Hasil ini mendekati angka rata-rata peningkatan temperatur global yang
diperkirakan oleh IPCC dalam AR4, yaitu 0,7 oC+ 0,2 setiap abad (ICCSR, 2010).
Untuk curah hujan, dari hasil proyeksi menunjukkan adanya variasi yang
cukup penting dalam skala waktu dan ruang. Ada sedikit perbedaan terhadap
perubahan pola curah hujan yang tidak hanya bersifat musiman tetapi berjalan
dari bulan ke bulan (ICCSR, 2010).
Dampak perubahan iklim tidak memandang suku bangsa maupun tingkat ekonomi
seseorang, semua pihak mempunyai potensi yang sama terhadap dampak perubahan
iklim, seperti banjir, kekeringan, badai, angin, puting beliung maupun kejadian
ekstrim iklim lainnya. Namun demikian, potensi kerugian yang paling besar
dialami oleh masyarakat yang masuk dalam kategori miskin atau berada dibawah
garis kesejahteraan. Mereka dianggap rentan karena kurang pengetahuan tentang
perubahan iklim dan dampaknya (UNDP, 2007)
Dalam negosiasi internasional, mekanisme keuangan yang terkait dengan
perubahan iklim baru mencakup isu mitigasi dan adaptasi, dan masih sedikit yang
memberi penekanan terhadap perlunya kompensasi terhadap kerugiaan (loss) dan
kerusakan (damage) akibat perubahan iklim yang terjadi.(ActionAid, 2010)
Isu loss and damage sendiri sudah mulai masuk dalam pembahasan negosiasi
sejak awal tahun 1990-an, yang kemudian dipertegas lagi dengan adanya proposal
dari Aliansi Negara-negara Kepulauan Kecil (AOSIS) yang menganggap negara
mereka sangat rentan terhadap perubahan iklim. Istilah loss and damage mengacu
pada dampak yang di wilayah yang tidak melakukan upaya mitigasi dan tidak dapat
diadaptasi. Kalaupun sudah dilakukan mitigasi dan adaptasi, tapi masih
belum memberikan hasil yang lebih baik, maka timbul dampak tambahan lainnya,
inilah yang disebut sebagai loss and damage. AOSIS dan UNFCCC mengarahkan
istilah ini kepada kerusakan fisik, misalnya abrasi yang terjadi akibat
kenaikan muka air laut, desertifikasi, dll.
loss and damage tidak hanya mengacu kepada kerusakan atau kerugian fisik
saja tetapi juga mencakup biaya kerugian dan kerusakan terhadap sisi sosial,
lingkungan dan ekonomi akibat kejadian iklim ekstrim, misalnya hancurnya
bangunan, kerugian hasil pertanian, hilangnya pemukiman penduduk, kontaminasi
air.
Banyak pihak yang pesimis dengan adanya mekanisme kompensasi loss and
damage ini mengingat banyak ketidakpastian, sulitnya membuat standar perkiraan
kerugian karena adanya perbedaan kondisi masing-masing daerah. Nada pesimistis
yang lain juga karena sulitnya menentukan perkiraan kerugian dan kerusakan yang
terjadi apakah disebabkan oleh perubahan iklim atau sebab lain yang bersifat
alami.
Contoh atau model perhitungan loss and damage yang diperkenalkan oleh Dr.
Chris Hope adalah menggunakan perkiraan biaya as business as usual, tanpa
adanya upaya mitigasi dan adanya upaya mitigasi. Emisi global yang digunakan
adalah standar emisi yang menjadi scenario UNFCCC yaitu 450 ppm, begitu juga
upaya adaptasi yang menjadi asumsi dalam model ini didasarkan pada perkiraan
biaya UNFCCC (2008) (ActionAid, 2010).
Pembayaran kompensasi terhadap kerugian dan kerusakan yang diakibatkan oleh
perubahan iklim masih sulit untuk diterapkan di Indonesia. Beberapa penyebabnya
adalah :
1. Belum terdefinisikan
dengan jelas istilah loss and damage
2. Masih sulit membedakan
kerusakan akibat perubahan iklim secara total atau akibat perubahan lain yang
terjadi secara cepat
3. Belum adanya metodologi
dan mekanisme untuk mengetahui terjadinya loss and damage
4. Masih belum ada panduan
untuk menentukan kriteria, ukuran kerugian dan kerusakan yang terjadi
5. Mekanisme pembuktian
klaim terjadinya loss and damage yang mencakup ketersediaan data dan informasi,
biaya pengukuran dan analisis, tenaga ahli yang kompeten, indeks kerusakan yang
menjadi referensi tingkat loss and damage, termasuk proses validasinya.
Sebenarnya praktek kompensasi terhadap kerugian dan kerusakan tersebut
sudah berlangsung dan mempunyai payung hukum dan kelembagaan formal, yaitu
melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Sosial
ataupun Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Namun demikian,
kompensasi yang diberikan bukan spesifik mengarah kepada kerugian dan kerusakan
yang diakibatkan oleh perubahan iklim tetapi bencana secara keseluruhan yang
dapat diakibatkan kejadian alam, kerusakan lingkungan akibat pengelolaan sumber
daya alam yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan dan kelestarian SDA.
Selain itu juga anggaran kompensasi seluruhnya berasal dari anggaran pemerintah
yang besarannya tidak terukur karena tergantung kebutuhan dan ketersediaan
dana. Oleh karena itu konsep kompensasi disini belum bisa masuk dalam kategori
pembiayaan loss and damage menurut konteks iklim.
Dalam konsep pembiayaan loss and damage perlu ada perhitungan dan analisis
biaya yang lebih detil dengan memperhatikan faktor-faktor lain, tidak hanya
ekonomi saja tetapi faktor sosial yang timbul atau dampak lanjutan dari kasus
bencana akibat perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang terjadi akibat
kejadian iklim ekstrim.
Terkait pemikiran tentang konsep pembiayaan loss and damage selain
mekanisme kompensasi juga banyak dibahas tentang mekanisme asuransi untuk
membiayai pembayaran penggantian kerugian dan kerusakan akibat bencana iklim.
Namun dalam pemikiran saya dengan melihat kondisi yang ada di Indonesia dan
kondisi pasar asuransi yang masih belum berkembang dengan baik, agak sulit
untuk menerapkan mekanisme asuransi dalam proses pembayaran loss and damage
ini. Dari beberapa kali pembahasan tentang isu ini yang sudah dilakukan belum
ada perkembangan berarti dalam arti belum ada satupun perusahaan asuransi di
Indonesia yang berminat untuk terlibat dalam pembayaran dana loss and damage.
Mekanisme yang lebih memungkinkan untuk diterapkan adalah pemberian
kompensasi terhadap kerugian dan kerusakan akibat bencana katastrofi yang
disebabkan oleh perubahan kondisi iklim global, hanya saja perlu dilakukan
pendetilan dari konsep yang sudah berjalan saat ini dengan menambah kekhususan
kriteria penggantian kerugian dan kerusakan. Namun, kondisi ekonomi nasional
yang masih mengarah kepada percepatan pembangunan dan peningkatan ekonomi
masyarakat juga masih belum sepenuhnya mendukung konsep ini. Penganggaran yang
ada masih difokuskan pada usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pemberian kompensasi tidak hanya bisa diterapkan untuk kejadian bencana
saja tetapi juga sektor pertanian. Kegagalan panen akibat banjir atau
kekeringan harus bisa dicakup oleh mekanisme pendanaan kompensasi ini.
Perubahan pola curah hujan dapat menyebabkan potensi berlebihnya persediaan air
yang berakibat tergenangnya lahan pertanian oleh banjir, atau bisa juga
berkurangnya persediaan air yang menyebabkan lahan pertanian mengalami kekeringan.
Sebab lain yang diperkirakan disebabkan oleh terjadinya perubahan kondisi iklim
adalah kenaikan muka air laut yang memicu terjadinya banjir rob dan dapat
menggenangi tidak hanya wilayah pemukiman tetapi juga lahan pertanian.
Timbulnya kejadian iklim ekstrim seperti badai dan angin puting beliung akibat
perubahan sistem atmosfir juga dapat menyebabkan kegagalan panen akibat
rusaknya lahan pertanian yang diusahakan petani.
Pembayaran kompensasi bagi usaha pertanian diperlukan tidak hanya untuk mengurangi
kerugian petani tetapi juga menjaga ketahanan pangan karena dengan adanya ganti
rugi tersebut petani dapat kembali mengusahakan lahannya sehingga dapat
berproduksi lagi. Pembayaran kompensasi hendaknya disesuaikan dengan kerugian
dan kerusakan yang diderita oleh petani yang dapat diketahui dari modal awal
usaha taninya dan potensi hasil produksi yang seharusnya dapat diterima oleh si
petani apabila tidak mengalami bencana, ditambah potensi kerugian waktu dan
tenaga. Alternatif lain yang dapat diterapkan dalam pemberian kompensasi ini
adalah bukan dalam bentuk uang tetapi bantuan benih atau bibit tanaman, pupuk,
obat-obatan maupun peralatan yang dapat digunakan kembali oleh para petani
untuk mengusahakan lahan pertaniannya.
Sektor lain yang dianggap perlu untuk dimasukkan ke dalam skema pembayaran
kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim adalah sektor kelautan dan
pesisir. Adanya abrasi dan potensi berkurangnya lahan akibat kenaikan muka air
laut menyebabkan banyak masyarakat pesisir yang harus rela tergusur dari
rumahnya akibat terkena imbas dari naiknya muka air laut. Penghitungan potensi
kerugian dan kerusakan disini tidak hanya dilihat dari sisi materi, misalnya
untuk nelayan yang tidak bisa melaut karena kondisi perairan yang membahayakan
akibat gelombang tinggi, tetapi juga potensi kerugian lain dari sisi sosial
yang juga perlu diperhatikan, misalnya kerugian akibat berkurangnya kualitas
kesehatan si nelayan akibat pendapatan yang berkurang.
Dengan memperhatikan kondisi ekonomi dan perkembangan yang terjadi di
Indonesia, masih sulit untuk menerapkan metode pembiayaan loss and damage
sesuai dengan UNFCCC. Oleh karena itu perlu dikembangkan metodologi lain yang
mempunyai prinsip sejalan dengan mekanisme pembiayaan tersebut, misalnya dalam bentuk
subsidi bagi petani yang mengalami kerugian akibat kegagalan panen, pengurangan
atau pembebasan pajak atau bisa juga dengan memanfaatkan dana dari pihak ketiga
seperti donor, untuk memberikan bantuan pinjaman lunak tanpa bunga bagi petani
yang mengalami kegagalan panen akibat cuaca ekstrim, yang selanjutnya dana
tersebut bisa dikelola secara bergulir.
Seperti apapun metodologi yang akan diterapkan diharapkan dapat memberikan
keringanan beban bagi semua pihak yang berpotensi terdampak perubahan iklim.
Namun upaya yang lebih penting lagi adalah menerapkan praktek adaptasi terhadap
perubahan iklim yang sudah terjadi, karena bagaimanapun kita tidak bisa
menghindar dari fenomena alam tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar