Rabu, 12 Desember 2012

SKEMA “LOSS AND DAMAGE” : ALTERNATIF KOMPENSASI BAGI MASYARAKAT YANG TERDAMPAK PERUBAHAN IKLIM


Pada hari Jum’at malam, salah satu televisi swasta menayangkan sebuah film yang menceritakan tentang dahsyatnya sebuah fenomena yang bernama perubahan iklim dalam “The Day After Tommorow”, dimana dalam film tersebut disampaikan sebuah pesan mengenai betapa parahnya dampak fenomena berubahnya system iklim atmosfir yang menyebabkan terjadinya pendinginan permukaan bumi secara global. Walaupun film tersebut serasa agak berlebihan dalam menggambarkan kejadian tersebut, tetapi satu pesan yang bisa diambil adalah perlunya upaya dan persiapan untuk menghadapi kejadian perubahan iklim tersebut.

  Dalam AR4 yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) definisi perubahan iklim dinyatakan sebagai perubahan kondisi iklim yang dapat diidentifikasi (misalnya menggunakan uji statistik) dengan mengubah rata-rata dan/atau variabilitas propertinya, dan berlanjut untuk waktu yang cukup lama, biasanya kurun waktu dekade atau lebih panjang. Hal tersebut mengacu pada setiap perubahan pada iklim sepanjang waktu, apakah penyebabnya alami atau akibat aktifitas manusia. Definisi ini berbeda dengan definisi yang digunakan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dimana perubahan iklim lebih mengacu pada perubahan pada kondisi iklim yang disebabkan secara langsung atau tidak langsung oleh aktifitas manusia yang mengubah komposisi atmosfir global, disamping variabilitas iklim alami yang diteliti sepanjang periode waktu tertentu.

  Secara ilmiah, pemanasan global yang terjadi pada system iklim sudah terbukti melalui fenomena peningkatan suhu permukaan bumi dan lautan, kemudian terjadinya pencairan bongkahan es yang semakin meluas di wilayah kutub, serta adanya kecenderungan kenaikan muka air laut global (AR4, 2007).

  Dalam laporan IPCC tersebut juga disampaikan bahwa ada kecenderungan peningkatan temperature yang menyebar secara global, dimana sebagian besar peningkatan tersebut melanda wilayah yang berada di lintang utara. Suhu rata-rata di kutub utara dilaporkan meningkat hampir dua kali lipat dari suhu rata-rata global selama 100 tahun yang lalu. Dilaporkan juga bahwa wilayah daratan menjadi lebih cepat panas dibandingkan wilayah lautan. Penelitian yang telah dilakukan sejak tahun 1961 menunjukkan bahwa rata-rata temperature laut global mengalami kenaikan dan sudah mencapai kedalaman kurang lebih 3000 m (AR4, 2007). Pengukuran dengan menggunakan balon udara dan satelit menunjukkan adanya kenaikan suhu troposfir di bagian tengah dan bawah.

  Terkait dengan kenaikan muka air laut, hasil penelitian menunjukkan hasil yang berbanding lurus antara kenaikan suhu di laut dengan kenaikan muka air laut. Secara global, muka air laut mengalami peningkatan pada tingkat rata-rata 1,8 (1,3 – 2,3 mm) setiap tahun mulai tahun 1961 sampai 2003, sementara hasil penelitian pada tahun 1993 – 2003 menunjukkan kenaikan muka air laut pada tingkat rata-rata 3,1 (2,4 – 3,8 mm) setiap tahunnya (AR4, 2007).

  Pemanasan global juga memicu terjadinya peningkatan aktifitas angin taifun dan badai di beberapa wilayah Negara dan membawa kerugian nyawa maupun material yang tidak sedikit.

  Makin meningkatnya kejadian banjir dan kekeringan akibat perubahan pola presipitasi, makin seringnya kejadian ekstrim iklim seperti badai, perubahan musim yang berpengaruh terhadap perubahan pola tanam merupakan beberapa dampak akibat pemanasan global yang berpengaruh terhadap perubahan iklim. Pengaruh terhadap kondisi ekosistem perairan dan laut juga dapat dilihat dari adanya perubahan system biologi akibat perairan yang mengalami perubahan yang dikarenakan oleh kenaikan temperature air, maupun pencairan es, perubahan salinitas, tingkat oksigen dan sirkulasinya.

  Dari hasil analisis data iklim di Indonesia yang dikumpulkan dari beberapa stasiun pemantauan iklim dan cuaca menunjukkan adanya perubahan temperatur mencapai sekitar 0,5 oC yang terjadi selama kurun waktu abad 20. Hasil ini mendekati angka rata-rata peningkatan temperatur global yang diperkirakan oleh IPCC dalam AR4, yaitu 0,7 oC+ 0,2 setiap abad (ICCSR, 2010).

Untuk curah hujan, dari hasil proyeksi menunjukkan adanya variasi yang cukup penting dalam skala waktu dan ruang. Ada sedikit perbedaan terhadap perubahan pola curah hujan yang tidak hanya bersifat musiman tetapi berjalan dari bulan ke bulan (ICCSR, 2010).

Dampak perubahan iklim tidak memandang suku bangsa maupun tingkat ekonomi seseorang, semua pihak mempunyai potensi yang sama terhadap dampak perubahan iklim, seperti banjir, kekeringan, badai, angin, puting beliung maupun kejadian ekstrim iklim lainnya. Namun demikian, potensi kerugian yang paling besar dialami oleh masyarakat yang masuk dalam kategori miskin atau berada dibawah garis kesejahteraan. Mereka dianggap rentan karena kurang pengetahuan tentang perubahan iklim dan dampaknya (UNDP, 2007)

Dalam negosiasi internasional, mekanisme keuangan yang terkait dengan perubahan iklim baru mencakup isu mitigasi dan adaptasi, dan masih sedikit yang memberi penekanan terhadap perlunya kompensasi terhadap kerugiaan (loss) dan kerusakan (damage) akibat perubahan iklim yang terjadi.(ActionAid, 2010)

Isu loss and damage sendiri sudah mulai masuk dalam pembahasan negosiasi sejak awal tahun 1990-an, yang kemudian dipertegas lagi dengan adanya proposal dari Aliansi Negara-negara Kepulauan Kecil (AOSIS) yang menganggap negara mereka sangat rentan terhadap perubahan iklim. Istilah loss and damage mengacu pada dampak yang di wilayah yang tidak melakukan upaya mitigasi dan tidak dapat diadaptasi.  Kalaupun sudah dilakukan mitigasi dan adaptasi, tapi masih belum memberikan hasil yang lebih baik, maka timbul dampak tambahan lainnya, inilah yang disebut sebagai loss and damage. AOSIS dan UNFCCC mengarahkan istilah ini kepada kerusakan fisik, misalnya abrasi yang terjadi akibat kenaikan muka air laut, desertifikasi, dll.

loss and damage tidak hanya mengacu kepada kerusakan atau kerugian fisik saja tetapi juga mencakup biaya kerugian dan kerusakan terhadap sisi sosial, lingkungan dan ekonomi akibat kejadian iklim ekstrim, misalnya hancurnya bangunan, kerugian hasil pertanian, hilangnya pemukiman penduduk, kontaminasi air.

Banyak pihak yang pesimis dengan adanya mekanisme kompensasi loss and damage ini mengingat banyak ketidakpastian, sulitnya membuat standar perkiraan kerugian karena adanya perbedaan kondisi masing-masing daerah. Nada pesimistis yang lain juga karena sulitnya menentukan perkiraan kerugian dan kerusakan yang terjadi apakah disebabkan oleh perubahan iklim atau sebab lain yang bersifat alami.

Contoh atau model perhitungan loss and damage yang diperkenalkan oleh Dr. Chris Hope adalah menggunakan perkiraan biaya as business as usual, tanpa adanya upaya mitigasi dan adanya upaya mitigasi. Emisi global yang digunakan adalah standar emisi yang menjadi scenario UNFCCC yaitu 450 ppm, begitu juga upaya adaptasi yang menjadi asumsi dalam model ini didasarkan pada perkiraan biaya UNFCCC (2008) (ActionAid, 2010).

Pembayaran kompensasi terhadap kerugian dan kerusakan yang diakibatkan oleh perubahan iklim masih sulit untuk diterapkan di Indonesia. Beberapa penyebabnya adalah :
1.     Belum terdefinisikan dengan jelas istilah loss and damage
2.     Masih sulit membedakan kerusakan akibat perubahan iklim secara total atau akibat perubahan lain yang terjadi secara cepat
3.     Belum adanya metodologi dan mekanisme untuk mengetahui terjadinya loss and damage
4.     Masih belum ada panduan untuk menentukan kriteria, ukuran kerugian dan kerusakan yang terjadi
5.     Mekanisme pembuktian klaim terjadinya loss and damage yang mencakup ketersediaan data dan informasi, biaya pengukuran dan analisis, tenaga ahli yang kompeten, indeks kerusakan yang menjadi referensi tingkat loss and damage, termasuk proses validasinya.

Sebenarnya praktek kompensasi terhadap kerugian dan kerusakan tersebut sudah berlangsung dan mempunyai payung hukum dan kelembagaan formal, yaitu melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Sosial ataupun Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Namun demikian, kompensasi yang diberikan bukan spesifik mengarah kepada kerugian dan kerusakan yang diakibatkan oleh perubahan iklim tetapi bencana secara keseluruhan yang dapat diakibatkan kejadian alam, kerusakan lingkungan akibat pengelolaan sumber daya alam yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan dan kelestarian SDA. Selain itu juga anggaran kompensasi seluruhnya berasal dari anggaran pemerintah yang besarannya tidak terukur karena tergantung kebutuhan dan ketersediaan dana. Oleh karena itu konsep kompensasi disini belum bisa masuk dalam kategori pembiayaan loss and damage menurut konteks iklim.

Dalam konsep pembiayaan loss and damage perlu ada perhitungan dan analisis biaya yang lebih detil dengan memperhatikan faktor-faktor lain, tidak hanya ekonomi saja tetapi faktor sosial yang timbul atau dampak lanjutan dari kasus bencana akibat perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang terjadi akibat kejadian iklim ekstrim.

Terkait pemikiran tentang konsep pembiayaan loss and damage selain mekanisme kompensasi juga banyak dibahas tentang mekanisme asuransi untuk membiayai pembayaran penggantian kerugian dan kerusakan akibat bencana iklim. Namun dalam pemikiran saya dengan melihat kondisi yang ada di Indonesia dan kondisi pasar asuransi yang masih belum berkembang dengan baik, agak sulit untuk menerapkan mekanisme asuransi dalam proses pembayaran loss and damage ini. Dari beberapa kali pembahasan tentang isu ini yang sudah dilakukan belum ada perkembangan berarti dalam arti belum ada satupun perusahaan asuransi di Indonesia yang berminat untuk terlibat dalam pembayaran dana loss and damage.

Mekanisme yang lebih memungkinkan untuk diterapkan adalah pemberian kompensasi terhadap kerugian dan kerusakan akibat bencana katastrofi yang disebabkan oleh perubahan kondisi iklim global, hanya saja perlu dilakukan pendetilan dari konsep yang sudah berjalan saat ini dengan menambah kekhususan kriteria penggantian kerugian dan kerusakan. Namun, kondisi ekonomi nasional yang masih mengarah kepada percepatan pembangunan dan peningkatan ekonomi masyarakat juga masih belum sepenuhnya mendukung konsep ini. Penganggaran yang ada masih difokuskan pada usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pemberian kompensasi tidak hanya bisa diterapkan untuk kejadian bencana saja tetapi juga sektor pertanian. Kegagalan panen akibat banjir atau kekeringan harus bisa dicakup oleh mekanisme pendanaan kompensasi ini. Perubahan pola curah hujan dapat menyebabkan potensi berlebihnya persediaan air yang berakibat tergenangnya lahan pertanian oleh banjir, atau bisa juga berkurangnya persediaan air yang menyebabkan lahan pertanian mengalami kekeringan. Sebab lain yang diperkirakan disebabkan oleh terjadinya perubahan kondisi iklim adalah kenaikan muka air laut yang memicu terjadinya banjir rob dan dapat menggenangi tidak hanya wilayah pemukiman tetapi juga lahan pertanian. Timbulnya kejadian iklim ekstrim seperti badai dan angin puting beliung akibat perubahan sistem atmosfir juga dapat menyebabkan kegagalan panen akibat rusaknya lahan pertanian yang diusahakan petani.

Pembayaran kompensasi bagi usaha pertanian diperlukan tidak hanya untuk mengurangi kerugian petani tetapi juga menjaga ketahanan pangan karena dengan adanya ganti rugi tersebut petani dapat kembali mengusahakan lahannya sehingga dapat berproduksi lagi. Pembayaran kompensasi hendaknya disesuaikan dengan kerugian dan kerusakan yang diderita oleh petani yang dapat diketahui dari modal awal usaha taninya dan potensi hasil produksi yang seharusnya dapat diterima oleh si petani apabila tidak mengalami bencana, ditambah potensi kerugian waktu dan tenaga. Alternatif lain yang dapat diterapkan dalam pemberian kompensasi ini adalah bukan dalam bentuk uang tetapi bantuan benih atau bibit tanaman, pupuk, obat-obatan maupun peralatan yang dapat digunakan kembali oleh para petani untuk mengusahakan lahan pertaniannya.

Sektor lain yang dianggap perlu untuk dimasukkan ke dalam skema pembayaran kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim adalah sektor kelautan dan pesisir. Adanya abrasi dan potensi berkurangnya lahan akibat kenaikan muka air laut menyebabkan banyak masyarakat pesisir yang harus rela tergusur dari rumahnya akibat terkena imbas dari naiknya muka air laut. Penghitungan potensi kerugian dan kerusakan disini tidak hanya dilihat dari sisi materi, misalnya untuk nelayan yang tidak bisa melaut karena kondisi perairan yang membahayakan akibat gelombang tinggi, tetapi juga potensi kerugian lain dari sisi sosial yang juga perlu diperhatikan, misalnya kerugian akibat berkurangnya kualitas kesehatan si nelayan akibat pendapatan yang berkurang.

Dengan memperhatikan kondisi ekonomi dan perkembangan yang terjadi di Indonesia, masih sulit untuk menerapkan metode pembiayaan loss and damage sesuai dengan UNFCCC. Oleh karena itu perlu dikembangkan metodologi lain yang mempunyai prinsip sejalan dengan mekanisme pembiayaan tersebut, misalnya dalam bentuk subsidi bagi petani yang mengalami kerugian akibat kegagalan panen, pengurangan atau pembebasan pajak atau bisa juga dengan memanfaatkan dana dari pihak ketiga seperti donor, untuk memberikan bantuan pinjaman lunak tanpa bunga bagi petani yang mengalami kegagalan panen akibat cuaca ekstrim, yang selanjutnya dana tersebut bisa dikelola secara bergulir.

Seperti apapun metodologi yang akan diterapkan diharapkan dapat memberikan keringanan beban bagi semua pihak yang berpotensi terdampak perubahan iklim. Namun upaya yang lebih penting lagi adalah menerapkan praktek adaptasi terhadap perubahan iklim yang sudah terjadi, karena bagaimanapun kita tidak bisa menghindar dari fenomena alam tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar