Rabu, 12 Desember 2012

PERPRES NO. 14 TAHUN 2007 DAN PENYELESAIAN KASUS LUMPUR SIDOARJO


Tanggal 29 Mei 2006, merupakan awal dari sebuah bencana lingkungan bagi masyarakat Sidoarjo, terutama yang berada di sekitar kawasan pengeboran milik PT. Lapindo Brantas. Suatu kejadian yang menurut para ahli disebabkan oleh kesalahan prosedural dalam melakukan pengeboran gas yang menyebabkan keluarnya lumpur panas yang belum bisa dihentikan sampai sekarang. Menurut Laporan Pemeriksaan Atas Penanganan Semburan Lumpur Panas Sidoarjo yang disusun oleh BPK dinyatakan bahwa 150.000 m3 lumpur tersembur keluar setiap harinya, dan areal yang terkena dampak lumpur tersebut makin meluas. Dan, tepat pada hari ini, enam tahun sudah si 'lusi' terus mengeluarkan lumpurnya tanpa ada penyelesaian yang berarti yang memberikan manfaat bagi para korban lumpur lapindo.

Dalam suatu pertemuan internasional, sebagian besar ahli geologi yang hadir menyatakan bahwa kesalahan dalam prosedur pemboran merupakan penyebab keluarnya lumpur panas tersebut. Namun ada pula pakar yang menyatakan adanya kontribusi alam berupa gempa yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta beberapa waktu sebelum semburan lumpur itu yang menjadi penyebab dari kejadian tersebut.

Lokasi pengeboran dimana bencana lumpur tersebut terjadi merupakan kawasan pemukiman dan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktifitas perekonomian di Jawa Timur karena lumpur menggenangi sebagian besar wilayah tersebut. Pada awal terjadinya, semburan lumpur hanya menggenangi empat desa dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat warga setempat dievakuasi serta merusak areal pertanian. Sebelum bencana terjadi, banyak industri dan pabrik yang menjalankan usahanya di wilayah tersebut, tetapi adanya kasus semburan lumpur panas membuat wilayah industri tersebut tergenang lumpur sehingga mereka terpaksa menghentikan segala aktifitas ekonomi dan produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. 

Sejumlah upaya telah dilakukan untuk menanggulangi luapan lumpur, diantaranya dengan membuat tanggul yang membendung area genangan lumpur. Namun demikian, lumpur terus menyembur setiap harinya, sehingga sewaktu-waktu tanggul dapat jebol, yang mengancam pemukiman di dekat tanggul. Secara ekonomi dan ekologi, kasus tersebut membawa kerugian yang sangat besar, dan menimbulkan konflik sosial. Apalagi setelah penanganan kasus tersebut yang berlarut-larut dan merugikan masyarakat yang menjadi korban, serta menambah luas konflik sosial dan ekonomi yang terjadi. PT. Lapindo Brantas sebagai pihak yang dianggap paling bertanggung jawab sulit dimintai kewajibannya untuk memberikan kompensasi dan ganti rugi yang layak bagi para korban, sehingga timbul adanya rasa ketidakadilan dalam penyelesaian sebuah kasus. 

Keluarnya Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo tidak menjadi penyelesaian terhadap kasus yang makin berlarut-larut tersebut, justru tampak adanya upaya pengalihan tanggung jawab yang seharusnya diambil oleh PT. Lapindo Brantas kepada pemerintah. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk kompromi politik terhadap salah satu pihak karena ketidaktegasan dari pemerintah yang lebih berpihak terhadap satu golongan daripada masyarakat luas. Ada ketidaksesuaian antara pertimbangan yang diambil sebagai dasar keluarnya peraturan ini dengan implementasi secara nyata.

Pertimbangan yang digunakan dalam menyusun Perpres tersebut adalah bahwa dampak dari luapan lumpur di Sidoarjo sudah demikian luas terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat di sekitarnya, sehingga perlu kebijakan nasional yang lebih komprehensif, selain itu dalam rangka melanjutkan langkah-langkah penyelamatan penduduk, penanganan masalah sosial dan infrastruktur di sekitar bencana akibat luapan lumpur di Sidoarjo, perlu peningkatan penanganan masalah dimaksud, dengan memperhitungkan risiko lingkungan yang terkecil. Adanya kesadaran terhadap dampak luas yang diakibatkan oleh kasus semburan lumpur ini seharusnya menjadi dasar bagi pemerintah untuk meminta pertanggungjawaban kepada pihak yang menyebabkan kasus tersebut. Begitu juga dalam penyusunan kebijakan untuk mengatasi lumpur yang semakin meluas tidak memperhatikan dampak ekologi dalam jangka panjang. Pembuangan lumpur ke Selat Madura melalui Sungai Porong menimbulkan beban pencemaran yang meluas terhadap ekosistem yang ada di sungai tersebut maupun di Selat Madura. 

  Dalam pasal 15, ayat 1 dan 2 sudah jelas dinyatakan bahwa PT. Lapindo Brantas membeli tanah warga yang terdampak sesuai peta lokasi terdampak dengan harga yang sesuai dan menurut akta kepemilikan lahan. Hal ini juga menjadi salah satu pemicu konflik sosial karena luas areal terdampak makin bertambah, sementara peta area terdampak tidak selalu diperbaharui, sehingga banyak warga yang juga menjadi korban akibat harta bendanya yang terendam lumpur dinyatakan tidak berhak menerima ganti rugi karena berada di luar peta area terdampak. Selain itu juga, meskipun sudah tercantum dalam peraturan tersebut tentang penggantian kerugian dan waktu pelaksanaannya, tetapi sampai sekarang proses ganti rugi masih belum terselesaikan juga, masih banyak warga yang belum menerima kompensasi kerugian secara layak dan sesuai dengan kerugian yang dialami.

Menilik pada pasal 15 secara keseluruhan selain mengatur tentang proses ganti rugi bagi korban terdampak, juga mengandung suatu pemahaman tentang terjadinya pengalihan tanggung jawab dari pihak swasta yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kejadian tersebut kepada Pemerintah. Pembebanan biaya penanganan masalah sosial kemasyarakatan dan masalah infrastruktur termasuk infrastruktur penanganan luapan lumpur kepada APBN merupakan salah satu bentuk keberpihakan Pemerintah terhadap pihak swasta bukan kepada masyarakat. Seharusnya seluruh pengeluaran biaya investasi dan biaya sosial akibat bencana industri tersebut ditanggung oleh pihak yang memicu terjadinya kasus bencana tersebut dan bukan dibiayai dengan pajak yang diperoleh dari rakyat. Ada bentuk ketidakadilan massal dalam kasus ini karena ketidakadilan dirasakan tidak hanya oleh segelintir orang saja tetapi seluruh rakyat Indonesia yang membayar pajak.

Hal lain yang juga menjadi salah satu kontroversi adalah keputusan pengadilan yang menyatakan bahwa semburan lumpur panas di Sidoarjo tidak memberikan dampak negatif terhadap kondisi ekologi dan lingkungan di wilayah tersebut. Padahal secara kasat mata, sudah nampak adanya perubahan yang bisa dikategorikan sebagai gangguan terhadap ekosistem lingkungan di wilayah yang terdampak. Walaupun dalam peraturan ini dinyatakan tentang upaya penanganan masalah semburan lumpur dengan memperhitungkan risiko lingkungan yang paling kecil, namun dalam implementasinya tidak tampak adanya upaya perbaikan lingkungan ekologi di wilayah terdampak tersebut. Dalam peraturan tersebut juga tidak mencantumkan adanya audit lingkungan dan kajian risiko akibat luapan lumpur tersebut terhadap ekosistem daerah terdampak dalam jangka panjang. penyusunan perencanaan program penanggulangan tidak didasarkan pada suatu kajian dampak ekologi. 

Faktor ke”tokoh”an seseorang kadang dapat menjadi penghambat suatu pemerintahan dalam melakukan tindakan tegas terhadap pelanggaran yang terjadi, akibatnya masalah lingkungan makin meningkat tetapi penyelesaiannya kurang. Masyarakat yang sudah terampas hak hidup dan ekonominya tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak mempunyai kekuatan yang mampu mengalahkan kekuasaan. Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 ini merupakan salah satu contoh dari sekian banyak contoh tentang politik “kolegaisme” dalam penyusunan suatu kebijakan publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar